Sudahkah Kita Bercermin?

saat ini hampir semua pengguna internet dekat dengan media sosial, menggunakan satu, dua, atau bahkan lebih diantara sekian banyak media sosial yang menjajakan produk dan aplikasinya. dan tidak lupa Indonesia selalu menjadi salah satu yang disorot karena pengguna internet dan pengguna media sosial-nya termasuk salah satu yang terbesar.

bagi saya ini satu lagi sebuah pisau bermata dua

mengapa demikian? dengan semakin banyaknya pengguna, maka peluang Indonesia untuk dilirik oleh masyarakat IT dunia menjadi semakin luas, semakin banyak peluang kerja, mengembangkan karir, bertemu teman lama dan baru, mendapatkan peluang usaha atau bahkan memperoleh jodoh. sangat positif tentunya — yang tentu sudah banyak sekali orang yang membahasnya — namun menurut saya, media sosial pun memiliki sisi negatif yang ditawarkan. apa itu?

dengan semangat era keterbukaan informasi dan atas nama kebebasan berekspresi, ada kalanya kita yang masih ber-euforia ini akhirnya lupa diri dan menjadi terlalu terbuka. facebook dan twitter saat ini menjadi hal yang sangat berguna di internet, kadang kala bahkan mengalahkan google.

tidak dapat dipungkiri bagaimana facebook bisa berperan untuk mengumpulkan kawan dan saudara yang jarang bertemu, membuka peluang usaha baru dengan bermodal foto dan tag. bagaimana twitter dapat mendekatkan penggemar dengan idola-nya, mengenalkan brand dengan pengguna atau calon penggunanya, barang tentu ajang mencari ketenaran, membangun branding personal, dan #pencitraan

tapi tidakkah kita menyadari bahwa apa yang kita tulis di facebook/twitter atau media sosial yang lain itu menjadi konsumsi banyak orang? tidakkah kita menyadari bahwa secara tidak langsung kita memberikan informasi-informasi rahasia kita untuk dimiliki oleh facebook, twitter, dan media sosial lainnya?

kadang kita tidak pernah belajar dengan benar

di facebook. sering kali atas nama jumlah ‘mutual friend‘ kita bisa dengan mudah menyetujui pertemanan baru, mendapatkan teman baru, calon pembeli baru, dan kemudian menghujani mereka dengan informasi-informasi yang kadang tidak mereka butuhkan, menjajakan barang yang belum tentu mereka suka, atau bahkan sekedar membuat akun facebook baru atas nama anak-anak kita.

tidak kah kita mau menyadari dan berbenah tentang aturan yang berlaku di facebook yang menyatakan bahwa kita tidak diperkenankan adanya akun facebook untuk anak berusia dibawah 13 tahun? tidak kah kita mau mengikuti norma bahwa men-tag teman difoto jualan itu tidak baik? — seingat saya facebook sudah menyediakan facebook market place dan facebook ads untuk berjualan

apakah ini bukti bahwa kita tidak peduli dengan aturan yang berlaku? (bahkan di dunia nyata?)

berbeda lagi dengan apa yang terjadi di twitter. twitter memberikan kita fasilitas yang sangat baik untuk menjadi seorang stalker, pengumpul informasi, atau apapun itu. bagaimana bisa? twitter menggunakan istilah follow (bukan friendship) untuk menghubungkan akun yang satu dengan lainnya. sederhana namun bisa jadi berbahaya. sesederhana bahwa untuk akun yang bersifat terbuka, akun yang di-follow tidak perlu melakukan konfirmasi apapun.

1013679_30019622

tidakkah kita menyadari banyak sekali stalker atau bahkan #intel yang berkeliaran disana? mengumpulkan berbagai informasi tentang kita dan orang-orang disekitar kita? dan kita sendiri pun dapat mengumpulkan banyak sekali informasi tentang seseorang hanya melalui lini masa twitter-nya. apakah ini berbahaya? silahkan anda simpulkan sendiri.

saya tidak ingin membuat anda takut bermain di media sosial, tapi jangan lupa untuk selalu waspada.

ada hal lain yang saya soroti di media sosial dan internet pada umumnya tentang perilaku bangsa kita yang katanya berpendidikan tinggi ini. di internet, kita bisa dengan mudah menemukan banyak sekali sampah informasi. bagaimana informasi yang seharusnya bisa didapatkan dengan tepat dan mudah harus bertarung dengan berbagai macam blog atau website keyword abuser? — apakah ini sebuah bentuk kebebasan berekspresi?

bagaimana kita bisa dengan mudah menemukan orang yang saling memaki, merendahkan yang lain, menggunakan kata-kata kasar pada status-status twitter, pada box-box comment, atau bahkan di forum dan sebagainya — oh tidakkah kita pernah belajar tentang sopan santun?

inikah pergeseran bentuk budaya ketimuran yang dulu diagungkan?

di twitter, tempat kita bisa memperoleh informasi langsung dari sumbernya, membangun diskusi bermanfaat, mengumpulkan massa demi perbaikan bangsa, memperluas wawasan dan pengetahuan, dan berbagai hal positif lainnya. namun tidak jarang saya malah menemukan bahwa banyak dari pengguna twitter yang malah sanggup bertengkar, saling mencemooh, mengikuti debat kusir, dan saling menggunjing tentang apapun itu, dan bahkan hingga menebarkan kebencian.

sebagian dari mereka pun lebih sibuk mengejar sebuah chauvinisme semu terhadap tim sepakbola atau artis luar negeri yang kadang tidak pernah punya hubungan historis mendalam dengan mereka. sebuah militansi fanatisme? oh c’mon, tidak kah ada yang jauh lebih berguna? dan tak jarang pula mereka tidak mau berbesar hati untuk menerima sanggahan atau perbedaan pendapat ekstrim. — memilih mengaktikan fitur blokir daripada memberikan diskusi yang lebih berbobot

dan diluar konteks tata bahasa, pemilihan kata, hingga pola komunikasi yang digunakan, ada hal yang lebih elementer lagi yang sering kita acuhkan disana. bagaimana cara membalas twit dengan reply dan bukan dengan RT, bagaimana menggunakan new twitter RT, tidak me-RT twit teman kita yang berasal dari protected account, dan bagaimana menulis twit agar hanya 140 karakter tanpa tmi.me, tl.gd, deck.ly atau semacamnya. — tidakkah kita menyadari bahwa layanan tmi.me, tl.gd, dan deck.ly itu menguras pulsa handset kita saat membukanya?

dan sekali lagi, apakah ini bukti bahwa kita tidak peduli dengan aturan yang berlaku? (bahkan di dunia nyata?)

ini adalah sedikit contoh kecil tentang apa yang sering kita perbuat di media sosial dan internet pada umumnya, tidakkah kita menyadari bahwa tata bahasa dan tata komunikasi yang buruk akan memperburuk citra, harkat, dan bangsa kita dimata dunia? — ah, mungkin hanya saya yang memikirkan tentang ini

saya jadi heran.. kemana perginya semangat bhinneka tunggal ika — unity in diversity kalo kata barack obama — ketika kita lebih sering bertengkar dengan bangsa kita sendiri? bagaimana kita bisa dihargai bangsa lain ketika menghargai bahasa kita sendiri kita segan?

saya tidak bermaksud menggurui siapapun, karena saya pun masih harus banyak belajar, namun menurut saya ini patut untuk kita renungkan, kembali kepada diri kita masing-masing, sampai kapan kita menjadi umat yang merugi?

oh.. negara bodoh yang sangat aku bela…

— gambar diambil dari sini

By Alit Mahendra Bramantya

Complicatedly simple, not just another internet presence enthusiast. Currently managing Research (including Analytics) Division at Think.Web with Web App Development and Digital Analytics as main responsibility. Views are my own.

2 comments

Comments are closed.